Minggu, 09 Maret 2008

Tugas Bimbingan Konseling_Ratu Nurroh

Thursday, February 9, 2006

Figur Orang Tua dalam Pembentukan Potensi Remaja Sesunguhnya

I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Banyak orang mengatakan usia remaja itu adalah usia yang paling menghebohkan dibandingkan usia-usia lainnya. Ada yang mengatakan bahwa masa remaja itu masa pemberontakan, masa-masa liar, susah diatur, dan banyak sebutan lainnya. Banyak orang tua mulai khawatir saat anak mereka mulai masuk usia remaja. Di samping sebutan-sebutan yang tidak mengenakan, remaja sedikit terhibur karena masih ada yang bilang jika masa remaja inilah masa-masa produktif dan saya kira memang benar karena remaja berada dalam periode perkembangan yang paling optimal dibanding periode kehidupan lainnya. Remaja punya cukup banyak energi untuk dipergunakan, punya otot-otot fisik yang kuat. Secara psikis, kemampuan konsentrasi remaja ada dalam kondisi prima. Seorang remaja mampu mengingat jauh lebih baik dibanding kemampuan mengingat orang dewasa atau anak-anak. Hebat bukan, masa remaja itu? Tidak mengherankan jika semua orang berharap banyak pada remaja.

Terlepas dari perdebatan dan tanggapan banyak orang mengenai remaja yang memang memiliki potensi yang sangat luar biasa, terbesit suatu pertanyaan, apakah bisa seorang remaja dapat menumbuhkan potensi-potensinya itu seorang diri? Karena memang semua yang kita impikan berawal dari masa remaja.

Sangat mengasyikan bila seorang remaja dapat memanfaatkan semua potensi yang mereka miliki sesuai dengan apa yang mereka rencanakan dan inginkan. Tetapi, hidup tidak pernah semulus yang diharapkan. Pada priode ini remaja justru dihadapkan pada begitu banyak godaan. Ada berbagai macam godaan yang datang dari berbagai sumber, misalnya saja masalah-masalah yang datang dari teman sebaya, sahabat, lawan jenis, lingkungan sehari-hari, media elektronik, trend, mode, dan lain sebagainya. Belum lagi masalah dengan ortu, teman/sahabat, pacar, drugs alias narkoba, unwanted pregnancy, HIV/AIDS dan sebagainya.

Dari berbagai godaan-godaan inilah yang mungkin akan mencegah berbagai potensi remaja berkembang. Oleh karena itu, remaja membutuhkan berbagai bantuan dari berbagai pihak. Pihak yang paling dominan tentunya orang tua. Tetapi seberapa besarkah peran orang tua dalam perkembangan remaja menuju kedewasaan?
Batasan Masalah
1. Bagaimana peran orang tua dalam mengatasi masalah anak remajanya?
2. Bagaimana peran orang tua dalam menumbuhkan jiwa mandiri remaja?
3. Bagaimana peran orang tua dalam mengatasi gejala perubahan remaja pada masa pubertas?
Sistematika Penulisan
1. Observasi dengan cara penyebaran angket pada siswa-siswi SMAN 5 Bandung
2. Studi pustaka beberapa buku
3. Mencari literatur pendukung dari internet dan media cetak
4. Mencari objek (manusia) yang berhubungan dengan karya ilmiah ini untuk ditanyai

II. ISI
Bagi sebagian besar orang yang baru berangkat dewasa bahkan yang sudah melewati usia dewasa, remaja adalah waktu yang paling berkesan dalam hidup mereka atau bisa juga dibilang usia yang paling menghebohkan dibandingkan usia-usia lainnya. Kenangan-kenangan saat remaja merupakan kenangan yang tidak mudah dilupakan, sebaik atau seburuk apapun saat itu. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa masa remaja itu adalah masa-masa pemberontakan, liar, susah diatur, dan banyak sebutan lainnya.

Banyak orang tua mulai khawatir saat anak mereka mulai masuk usia remaja seolah citra yang melekat pada remaja itu adalah keras kepala, tidak mau diatur, dan susah diajak bicara. Selain itu, orang tua juga mengkhawatirkan usia remaja yang merupakan masa-masa yang paling sulit dikarenakan mulai timbulnya masalah-masalah seperti yang datang dari teman sebaya, sahabat, lawan jenis, lingkungan sehari-hari, media elektronik, trend, mode, dan lain sebagainya. Belum lagi masalah dengan orang tua, pacar, drugs, unwanted pregnancy, HIV/AIDS dan sebagainya. Complicated sekali, bukan?.

Perilaku orang tua yang demikian itu didasarkan pada pengalaman yang pernah mereka alami saat mereka mengalami masa-masa remaja. Mungkin ada sebagian dari orang tua yang pernah terpeleset sehingga ia tidak mau anaknya mengulangi hal yang sama. Orang tua benar-benar menginginkan kita senang dan bahagia (boleh ditambah sejahtera) sehingga sangatlah wajar bila banyak orang tua yang tetap menganggap anak remaja mereka masih perlu dilindungi dengan ketat. Hal ini dikarenakan di mata para orang tua, anak remaja mereka masih belum siap menghadapi tantangan dunia orang dewasa. Sebaliknya, menurut pengalaman dan pandangan saya, para remaja dengan berbagai tuntutannya membawa mereka pada keinginan untuk mencari jati diri yang mandiri atau bebas dari pengaruh orang tua. Keduanya memiliki kesamaan yang jelas dimana remaja adalah suatu waktu yang sangat “kritis” sebelum menghadapi hidup sebagai orang dewasa. Dimana apabila sukses mengahadapai masa ini maka akan sukses pula menghadapi masa dewasanya apalagi dunia beranjak pada pengglobalan.

Sebetulnya, mengapa remaja seolah-olah memiliki masalah unik yang kadang tidak mudah dipahami? Mengapa para remaja seringkali merasa tidak dimengerti dan tidak diterima oleh lingkungan sekitarnya? Lalu bagaimana juga peran orang tua dalam menanggapi keunikan remaja ini? Bagaimana orang tua dapat membuat anak remajanya menjadi manusia sukses di zaman globalisasi ini?

Sebelum menjawab pertanyaan itu semua, mari kita identifikasi, siapa sih remaja itu? Sampai sekarang, masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasan usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Beberapa ahli psikologi membagi masa remaja ini menjadi tiga periode, yaitu early adolescent, middle adolescent, dan late adolescent. Lembaga internasional seperti WHO mendefinisikan remaja adalah mereka yang memiliki rentan usia 18-24 tahun, sehingga anak yang berusia dibawah 18 tahun dikatakan anak-anak. International Planned Parenthood Federation (IPPF/PKBI), mendefinisikan remaja dengan rentang usia 10-24 tahun (Youth Manifesto, IPPF, 1998). Batasan ini mengacu pada rentang usia di mana perubahan-perubahan psikis dan fisik manusia mulai muncul. Patokan usia remaja seperti pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia 15-18 tahun kini terjadi pada awal belasan bahkan sebelum usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja sudah atau sedang mengalami pubertas namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang dewasa. Ia belum siap menghadapi dunia nyata orang dewasa, meski di saat yang sama ia juga bukan anak-anak lagi. Berbeda dengan balita yang perkembangannya dengan jelas dapat diukur, remaja hampir tidak memiliki pola perkembangan yang pasti. Menurut pengalaman saya, seorang remaja seringkali menjadi bingung karena kadang-kadang diperlakukan sebagai anak-anak tetapi di lain waktu mereka dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa.

Banyak perubahan pada diri seseorang sebagai tanda keremajaan. Menurut berbagai buku biologi yang saya pelajari di sekolah, pubertas adalah ukuran keremajaan. Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan menstruasi pertama pada remaja putri atau pun perubahan suara pada remaja putra, secara biologis dia mengalami perubahan yang sangat besar. Pubertas menjadikan seorang anak tiba-tiba memiliki kemampuan untuk bereproduksi. Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon, yaitu gonadotrophins atau gonadotrophic hormones. Dari kedua hormon tersebut yang berhubungan dengan pertumbuhan adalah Follicle-Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH). Pada anak perempuan, kedua hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan progesterone (dua jenis hormon kewanitaan). Pada anak laki-laki, Luteinizing Hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating Hormone (ICSH) merangsang pertumbuhan testosterone. Pertumbuhan secara cepat dari hormon-hormon tersebut di atas merubah sistem biologis seorang anak. Anak perempuan akan mendapat menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah aktif. Selain itu terjadi juga perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang, dll. Anak laki-laki mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, dan fisik lainnya yang berhubungan dengan tumbuhnya hormon testosterone. Bentuk fisik mereka akan berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa mereka pada dunia remaja.

Selain dari pandangan biologis, saya juga mendapatkan pendefinisian remaja yang cukup menarik dari Jean Piaget (seorang ahli perkembangan kognitif). Beliau mengatakan bahwa remaja dalam pandangannya merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal. Pada periode ini, idealnya seorang remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah (problem solving) yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir seorang remaja biasanya berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi seperti ilmuwan. Seorang remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi suatu konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Ditambah masa-masa remaja merupakan periode perkembangan yang paling optimal dibanding periode kehidupan lainnya. Remaja punya cukup banyak energi untuk dipergunakan, punya otot-otot fisik yang kuat. Secara psikis, kemampuan konsentrasi seorang remaja ada dalam kondisi prima. Seorang remaja mampu mengingat jauh lebih baik dibanding kemampuan mengingat orang dewasa atau anak-anak. Hebat bukan, masa remaja itu? Tidak heran, jika semua orang berharap banyak pada remaja.

Menurut saya, dengan kemampuan seperti ini, seorang remaja seharusnya mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka sehingga mereka dapat melalui kehidupan dengan kesuksesan termasuk di zaman global ini. Namun, realitasnya di negara-negara berkembang termasuk Indonesia masih sangat banyak remaja yang belum mampu sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal ini dengan ciri-ciri yang sudah dikatakan oleh Jean Piaget diatas. Hal ini tentunya adalah suatu masalah karena remaja yang tidak dapat menunjukan potensi seorang remaja yang seharusnya maka bisa dikatakan masih memiliki pola pikir yang sangat sederhana dan belum mampu melihat masalah dari berbagai dimensi.

Untuk mengetahui penyebab dari masalah mengapa remaja yang tidak mampu mencapai tahap perkembangan kognitif seperti yang dikatakan Jean Piaget maka saya melakukan observasi dengan menyebar angket secara acak kepada 100 orang siswa-siswi SMAN 5 Bandung dengan pebandingan laki-laki dan perempuan sebesar 50:50 pada kurun 4-12 Maret 2006 dengan pertanyaan kira-kira seperti ini, masalah apa yang menyebabkan potensi-potensi remaja yang sangat hebat (dengan ilustrasi yang sudah saya katakan diatas) tidak terlihat pada saat remaja. Dengan berbagai jawaban dari para responden atau sampel, saya mengkategorikan jawaban-jawaban itu menjadi 4 jawaban. Yang paling tinggi atau sebanyak 67% responden mengatakan bahwa peran atau sistem pola asuh orang tua-lah yang menyebabkan kurang berkembangnya potensi remaja. 1/5-nya atau sebanyak 20% responden mengatakan bahwa sistem pendidikan di Indonesia-lah yang paling mungkin menyebabkan potensi seorang remaja tidak terlihat. Sebanyak 10% menjawab karena terbawa arus lingkungan yang tidak benar dan 3% menjawab lain-lain.

Pada jawaban sebesar 20% ini, responden mungkin berpikiran bahwa sistem pendidikan di Indonesia yang tidak banyak menggunakan metode belajar-mengajar satu arah dan kurangnya perhatian pada pengembangan cara berpikir anak berdampak besar menyebabkan tidak berkembangnya potensi remaja.

Nah, sekarang mari kita bahas seluas-luasnya jawaban responden paling tinggi, yaitu sistem pola asuh orang tua-lah yang menyebabkan potensi remaja tidak berkembang. Dalam pembahasannya, saya akan membagi aspek pembahasan menjadi 2, yaitu aspek remaja di masa pubertas dan pencapaian kemandirian. Saya kira cukup penting dalam menanggapi pengkategorian dari kedua aspek ini. Hal ini dikarenakan 2 aspek ini dapat mewakili seluruh aspek permasalahan dunia remaja yang telah saya amati.

Remaja di Masa Pubertas
Dunia remaja memang sulit untuk ditebak. Banyak liku-liku yang terjadi pada saat periode remaja ini teralami. Termasuk pula masa pubertas yang merupakan ciri awal (dalam tinjauan biologis) sebagai ciri seseorang memasuki periode remaja.

Saya sempat menanyakan pada beberapa orang tua yang saya lihat memiliki anak remaja bermasalah yang mungkin dikarenakan penerapan sistem orang tua yang salah dan diterapkan pada anak remajanya yang kebetulan memasuki masa pubertas. Seperti misalnya yang terjadi pada anak remaja Ibu Maman.

Kalau saya lihat, suami Bu Maman (Pa Maman) adalah seorang manajer pada suatu perusahaan dan beliau memimpin keluarganya seperti ia menjalankan pada perusahaannya. Hal inilah yang mungkin menyebabkan Anti (anak remaja yang kebetulan perempuan dan berumur 16 tahun) yang sebelumnya bersifat terbuka menjadi seorang yang sulit dikontrol, mudah tersinggung, mudah marah, senang menyendiri di kamar dan terlihat menjadi seorang pribadi pembangkang. Meskipun Pa Maman sepertinya khawatir, sampai-sampai rasa kekhawatiran itu menimbulkan sikap yang over protective atau over “ngejagain”, hal itu yang tentunya tidak nyaman buat seorang remaja yang sedang pubertas seperti Anti. Bu Maman pun sempat mengeluhkan sistem atau pola asuh suaminya pada putrinya yang begitu ketat. Anti hanya boleh pergi dua kali sebulan, dan tiap malam hanya boleh memakai telepon 5 menit saja. Desakan-desakan seperti "harus rajin belajar", "jangan pulang malam-malam", "jangan pacaran dulu" tak ayal berulang kali diucapkan dengan tegas kepada Anti.

Menurut saya, seharusnya para ayah menyadari bahwa membesarkan dan mengontrol anak tidak sama dengan mengontrol selain anak termasuk suatu perusahaan. Ayah perlu membimbing pikiran dan tindakan anak. Seorang ayah seharusnya mengetahui liku-liku dunia remaja seperti yang dikatakan Arief Rachman, doktor di bidang pendidikan dan ketua harian UNESCO untuk Indonesia dalam seminar Becoming Wise Parents di Jakarta, yang saya kutip dari Media Indonesia pada minggu 23 Maret 2003. Beliau mengatakan banyak hal berkembang pada diri remaja terutama pada saat pubertas. Tidak hanya fisik yang berubah, tapi juga faktor emosi yang menjadi lebih meluap-luap.

"Untuk membantu remaja melewati masa-masa itu, orang tua memiliki peranan besar. Dalam hal ini diharapkan bisa melihat situasi dan tidak menerapkan program yang kaku dan ketat. Keberhasilan seorang remaja bukan hasil didikan ketat orang tua melainkan hasil sinergi antara remaja dan orang tua," ujar Arief yang juga menjadi kepala pengembangan lab school pada saat itu.

Arief juga menyarankan agar orang tua mau mengikuti perkembangan musik, membaca berbagai informasi tentang remaja. Juga mengikuti seminar tentang remaja, berkonsultasi dengan guru, dan psikolog remaja ataupun pendidik sehingga terjalin komunikasi yang baik antara orang tua dan anaknya.

Menurut pengalaman saya yang juga bisa dikatakan sebagai remaja karena memang masih berusia 16 tahun, agar komunikasi berjalan baik, orang tua sebaiknya memperlakukan anak sebagai sahabat. Kondisi seperti itu akan memudahkan remaja berbagi cerita dan masalah sehingga anak tidak takut atau segan bertanya pada orang tuanya. Orang tua tidak seharusnya bersikap menggurui. Jangan beranggapan bahwa orang tua lebih mengetahui sesuatu dibandingkan dengan anak remajanya. Berikan kesempatan kepada anak remajanya untuk mengemukakan pandangannya. Berikan argumen yang jelas dan masuk akal terhadap suatu persoalan termasuk jangan mengatakan “pokoknya…” Berikan dukungan pada remaja bila mereka memang patut diberikan dukungan. Katakan salah jika anaknya memang salah, dengan alasan yang masuk akal menurut ukuran mereka tentunya. Jadikan mereka sebagai teman diskusi bukan sebagai individu yang harus diberitahu.

Namun yang menjadi masalah adalah bagaimana mendorong orang tua untuk menjadi sahabat bagi remaja?

Perasaan orang tua dalam membina anak remaja tidak dapat diukur seperti mereka mengukur tinggi badan anak remajanya. Orang tua harus menyadari bahwa pada saat ini anak remajnya memasuki masa dunia remaja. Mereka mengalami berbagai perubahan antara lain tidak ingin tergantung pada orang tua, merasa tidak membutuhkan orang tua, tidak banyak bicara, serta tidak ingin banyak diawasi. Dan orang tua pun harus tahu bahwa menjadi remaja hampir selalu menjadi orang yang menempati posisi yang paling tidak enak karena dalam posisi ditarik kesana kemari. Lihat saja, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa. Di satu sisi, ia ditarik masuk ke dalam tantangan untuk mematangkan kedewasaannya, di sisi lain ia masih belum bisa sepenuhnya lepas dari daya tarik masa kanak-kanak. Selain itu, remaja juga ditarik-tarik oleh kewajiban-kewajiban ala orang dewasa yang belum sepenuhnya dipahami sekaligus juga ditarik oleh ransangan untuk mengeksplorasi diri di tengah kenyataan sosial yang dihadapinya. Lebih parah lagi, dalam kondisi psikisnya yang justru labil, remaja diperebutkan oleh berbagai kepentingan politik dan ekonomi. Hal itu adalah realitas dan semua itu harus disadari dalam membangun komunikasi dengan remaja. Remaja membutuhkan bimbingan orang tua untuk membentuk pribadi yang baik dan mengembangkan berbagai potensi-potensi besarnya yang sudah saya katakan diatas. Remaja perlu diarahkan sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Mereka harus dibantu untuk membentuk nilai-nilai yang memungkinkan mereka untuk membuat pilihan bijaksana dan menggunakan kebebasan mereka secara bijaksana.
Selain itu, pengalaman mengenai masa remaja khususnya kenangan orang tua, seperti kencan pertama, saya rasa cukup penting untuk ditularkan kepada anak remaja. Hal yang harus diperhatikan oleh para orang tua adalah apa yang mereka alami beberapa puluh tahun yang lalu dan di zaman sekarang ini juga dialami oleh anak remaja mereka. Oleh karena itu penting bagi orang tua untuk melihat remaja dengan pandangan yang luas serta penuh perhatian sehingga secara implisit akan menimbulkan suatu pendekatan yang berbeda bagi para remaja. Selain itu, jangan pula terlalu cerewet atau tanpa sengaja bersikap merendahkan dan menuntut anak yang terlalu banyak sehingga orang tua menggantungkan harapan tidak realistis kepada remaja dengan berkali-kali membandingkan masa remaja mereka dengan anak-anaknya. Hal itu bagi para remaja sangat mengganggu. Kalau anak remajanya bertingkah sedikit aneh-aneh, jangan mengeluarkan kata-kata “sakti” seperti "..Dulu papa enggak pernah macem-macem kayak kamu..." Lha iyalah. Dulu kan memang zamannya tidak macem-macem. Tidak ada PlayStation, Internet, apalagi parabola.

Secara garis besar, pola asuh orang tua yang benar terhadap anak remajanya adalah pola asuh yang demokratis. Hal ini diungkapkan oleh pakar psikologi pendidikan Dharmayati Utoyo Lubis. Dharmayati menjelaskan bahwa secara garis besar ada tiga pola asuh penting yang biasa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu permisif, otokratis, dan demokratis.
Orang tua yang permisif antara lain tidak bertindak apa-apa jika anaknya sering pulang telat atau tidak meminta izin sebelum pergi. Orang tua permisif sering membantu putra-putri mereka mengerjakan tugas sekolah atau selalu memberi uang setiap mereka minta, padahal sudah memiliki uang saku sendiri. Metode pendidikan ini, kurang tepat karena mendidik anak menjadi manja dan tidak mandiri.

"Anak nantinya tidak bisa membuat keputusan sendiri hingga usia dewasa. Selain itu, metode pendidikan permissif membuat anak kehilangan respek kepada orang tua dan cenderung bertindak semaunya."

Sedangkan orang tua yang otokratik antara lain selalu menetapkan target keberhasilan putra-putrinya karena mereka merasa lebih tahu kemampuan sang anak dibandingkan itu sendiri. Juga menuntut anak untuk selalu berhasil 100%.

"Orang tua jenis ini biasanya menekankan bahwa nilai kepatuhan harus dijunjung tinggi di dalam rumah. Bila orang tua menerapkan metode pendidikan seperti ini, maka anak yang dihasilkan bisa menjadi sangat penurut dan takut atau justru menjadi pemberontak. Keadaan ini akan menyebabkan remaja tidak dapat menghargai dirinya sendiri dan tidak berani mengambil keputusan apapun dalam hidupnya. Mereka selalu takut salah."

Kedua metode di atas bukanlah cara mendidik yang efektif. Yang paling efektif adalah demokratik, orang tua menekankan kepada anaknya bahwa setiap manusia baik itu anak ataupun orang tua sama-sama memiliki kekurangan.

Orang tua demokratis meluangkan banyak waktu untuk mendengarkan obrolan anaknya yang sedang tumbuh remaja serta siap berbagi rasa dengan mereka. "Anak juga dianggap sebagai sahabat, dan orang tua terkadang meminta pendapat mereka dalam mengambil keputusan terhadap persoalan di rumah."

Dharmayati menambahkan bahwa kunci menjadi orang tua bijak adalah menjaga hubungan yang harmonis, terbuka, saling respek, berdasarkan kasih sayang, dan mampu mengembangkan komunikasi efektif dengan anak. Orang tua juga harus berusaha mengerti kehidupan dari perspektif remaja.

Dari metode-metode yang baru saja saya kutip dari pernyataan Dharmayanti, saya terbesit pada pertanyaan, peran orang tua yang efektif untuk memberi jawaban-jawaban yang logis dari anak remajanya yang memang mampu sudah mencapai tahap pemikiran abstrak dan sudah terbiasa berpikir kritis sehingga mampu untuk menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik. Saya kira memberi jawaban yang logis dari pertanyaan-pertanyaan anak remajanya cukup penting karena kita tahu bersama bahwa masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai-nilai pada diri mereka atau jati diri mereka karena memang kita tahu bahwa pada usia belasan, para remaja sedang giat-giatnya mencari jati diri dan senang bereksperimen atau coba-coba.

Seperti Elliot Turiel (1978) katakan, bahwa para remaja mulai membuat suatu penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya politik, kemanusiaan, perang, dan keadaan sosial. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak alternatif lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak. Para remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru.

Oleh karena itu, kita bisa tarik suatu kesimpulan bahwa perubahan-perubahan pola pikir para remaja ini-lah yang menyebabkan sikap "pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, kita ambil contoh jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik karena merupakan salah satu perbuatan mencuri hak milik orang lain. Pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja yang kebetulan sedang mencari jati dirinya. Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar jika remaja tersebut tidak menemukan jawaban dari pertanyaannya itu.

Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan sangat besar jika orang tua tidak mampu memberikan penjelasan yang logis. Dengan begitu, peranan orang tua amatlah besar dalam memberikan alternatif jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh anak remajanya. Orangtua yang bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik untuk dijadikan sebagai jati dirinya. Orang tua yang tidak mampu memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat sang remaja tambah bingung. Remaja tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orangtua dan nilai yang dianutnya. Ini bisa menjadi berbahaya jika “lingkungan baru” memberi jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan oleh orangtua. Konflik dengan orangtua mungkin akan menjadi tajam.Untuk itu, disarankan orang tua agar memperbanyak waktu mendengarkan cerita anak remajanya.

Pencapaian Kemandirian
Dalam suatu media yang saya dapatkan dari internet mengatakan bahwa kemandirian merupakan kebutuhan psikologis remaja Memperoleh kebebasan (mandiri) merupakan suatu tugas bagi remaja. Dengan kemandirian tersebut berarti remaja harus belajar dan berlatih dalam membuat rencana, memilih alternatif, membuat keputusan, bertindak sesuai dengan keputusannya sendiri serta bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukannya. Dengan demikian remaja akan berangsur-angsur melepaskan diri dari ketergantungan pada orang tua atau orang dewasa lainnya dalam banyak hal. Pendapat ini diperkuat oleh pendapat para ahli perkembangan yang menyatakan: "Berbeda dengan kemandirian pada masa anak-anak yang lebih bersifat motorik, seperti berusaha makan sendiri, mandi dan berpakaian sendiri, pada masa remaja kemandirian tersebut lebih bersifat psikologis, seperti membuat keputusan sendiri dan kebebasan berperilaku sesuai dengan keinginannya".

Kita dapat melihat bahwa kemandirian merupakan salah satu aspek penting yang terlihat dalam proses menuju remaja sehingga tidak salah bila kita membahasnya secara terinci tentang bagaimana peran orang tua dalam pembentukan remaja yang mandiri. Mandiri (bukan mandi sendiri) atau sering juga disebut berdiri diatas kaki sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk tidak tergantung pada orang lain serta bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Selama masa remaja, tuntutan terhadap kemandirian ini sangat besar dan jika tidak ditanggapi secara tepat bisa saja menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi perkembangan psikologis remaja tersebut di masa depannya. Ditengah berbagai gejolak perubahan yang terjadi di masa kini, betapa banyak remaja yang mengalami kekecewaan dan rasa frustrasi mendalam terhadap orang tua karena tidak kunjung mendapatkan apa yang dinamakan kemandirian.

Contoh yang paling banyak terlihat yang juga saya rasakan adalah dalam hal pemilihan jurusan atau fakultas ketika akan Perguruan Tinggi. Dalam hal ini masih saja orang tua ngotot untuk memasukkan anaknya ke jurusan yang mereka kehendaki meskipun anaknya sama sekali tidak berminat untuk masuk ke jurusan tersebut. Akibatnya remaja tersebut tidak memiliki motivasi belajar berlanjut pada kehilangan gairah untuk sekolah dan tidak jarang justru berakhir dengan Drop Out dari sekolah tersebut.

Melihat kenyataan di lapangan, peran orangtua sangatlah besar dalam proses pembentukan kemandirian seorang. Dalam hal ini, orang tua diharapkan dapat memberikan kesempatan pada anak agar dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, belajar mengambil inisiatif, mengambil keputusan mengenai apa yang ingin dilakukan dan belajar mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Dengan demikian anak akan dapat mengalami perubahan dari keadaan yang sepenuhnya tergantung pada orang tua menjadi manusia yang mandiri.

Robert Havighurst (1972) mengkategorikan kemandirian atas beberapa aspek, yaitu:
1. Emosi, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang tua.
2. Ekonomi, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang tua.
3. Intelektual, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.
4. Sosial, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain.
Reber (1985) mengatakan bahwa, “ kemandirian merupakan suatu sikap otonomi dimana seseorang secara relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain”.
Dari pernyataan Reber, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa otonomi atau kemandirian dari seseorang tidak tumbuh dengan sendirinya tetapi membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan di sekitarnya.

Demikian halnya dengan orang tua. Pada saat ini peran orang tua dan respon dari lingkungan sangat diperlukan bagi anak sebagai penguat untuk setiap perilaku yang telah dilakukannya. Dengan otonomi tersebut seorang remaja diharapkan akan lebih bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri.

Pola asuh orang tua tentunya sangat mendukung terhadap pencapaian remaja yang mandiri dan bertanggung jawab dikarenakan otonomi-otonominya karena di dalam keluarga, orang tua-lah yang berperan dalam mengasuh, membimbing dan membantu mengarahkan anak untuk menjadi mandiri.

Berikut akan disajikan beberapa tips mengenai bagaimana orang tua harus bertindak dalam menyikapi tuntutan kemandirian yang saya dapatkan dalam suatu media cetak.
1. Komunikasi, berkomunikasi dengan anak merupakan suatu cara yang paling efektif untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Tentu saja komunikasinya harus bersifat dua arah, artinya kedua belah pihak harus mau saling mendengarkan pandangan satu dengan yang lain. Dengan melakukan komunikasi orangtua dapat mengetahui pandangan-pandangan dan kerangka berpikir anaknya, dan sebaliknya anak-anak juga dapat mengetahui apa yang diinginkan oleh orangtuanya. Kebingungan seperti yang disebutkan diatas mungkin tidak perlu terjadi jika ada komunikasi antara remaja dengan orangtuanya. Komunikasi disini tidak berarti harus dilakukan secara formal, tetapi bisa saja dilakukan sambil makan bersama atau selagi berlibur sekeluarga.
2. Kesempatan, orangtua sebaiknya memberikan kesempatan kepada anak remajanya untuk membuktikan atau melaksanakan keputusan yang telah diambilnya. Biarkan remaja tersebut mengusahakan sendiri apa yang diperlukannya dan biarkan juga ia mengatasi sendiri berbagai masalah yang muncul. Dalam hal ini orangtua hanya bertindak sebagai pengamat dan hanya boleh melakukan intervensi jika tindakan sang remaja dianggap dapat membahayakan dirinya dan orang lain.
3. Tanggungjawab, bertanggungjawab terhadap segala tindakan yang diperbuat merupakan kunci untuk menuju kemandirian. Dengan berani bertanggungjawab (betapapun sakitnya) remaja akan belajar untuk tidak mengulangi hal-hal yang memberikan dampak-dampak negatif (tidak menyenangkan) bagi dirinya. Dalam banyak kasus masih banyak orangtua yang tidak menyadari hal ini. Sebagai contoh dalam kasus remaja yang ditahan oleh pihak berwajib karena terlibat tawuran, tidak jarang dijumpai justru orang tua-lah yang berjuang keras dengan segala cara untuk membebaskan anaknya dari tahanan, sehingga anak tidak pernah memproleh kesempatan untuk bertanggungjawab atas perilaku yang diperbuatnya (bahkan tidak sempat melewati pemeriksaan intensif pihak berwajib). Pada kondisi demikian maka remaja tentu saja tidak takut untuk berbuat salah, sebab ia tahu orangtuanya pasti akan menebus kesalahannya. Kalau begini terus, kapan dong anak bisa bertanggungjawab atas segala perbuatannya dan mampu mandiri?
4. Konsistensi. Konsistensi orangtua dalam menerapkan disiplin dan menanamkan nilai-nilai kepada remaja dan sejak masa kanak-kanak di dalam keluarga akan menjadi panutan bagi remaja untuk dapat mengembangkan kemandirian dan berpikir secara dewasa. Orangtua yang konsisten akan memudahkan remaja dalam membuat rencana hidupnya sendiri dan dapat memilih berbagai alternatif karena segala sesuatu sudah dapat diramalkan olehnya.
Kembali saya menegaskan bahwa kemandirian pada remaja adalah aspek yang sangat penting. Oleh karena itu, saya mengharapkan pada orang tua agar membimbing anak-anaknya menjadi manusia yang mandiri karena kita tahu negara ini sudah penuh dengan berbagai ketergantungan pada pihak lain maka jangan lagi kita membangun generasi baru yang juga penuh dengan ketergantungan dan menjadi beban keluarga. Amin.

III. KESIMPULAN
Remaja memiliki segudang potensi dan segudang masalah yang cukup pelik. Untuk menumbuhkan potensi-potensi itu, remaja membutuhkan orang lain yang mengerti dirnya dan cukup berpengalaman dalam mengarungi hidup. Siapa lagi kalau bukan orang tua. Namun, terkadang orang tua-lah yang merupakan pengganjal dalam pencapaian potensi ini. Misalnya proses pendapatan kemandirian yang merupakan aspek penting seorang remaja akan terganjal orang tua yang permisif.

Masa pubertas pun harus disorot karena masa ini remaja bertransisi dari seorang kanak-kanak menjadi seorang yang dewasa. Masa ini juga memiliki berbagai kendala untuk menyukseskan masa ini. Disinilah peran orang tua dalam hal membantu mendapatkan kedewasan sang anak remajanya.
(Naskah terbaik 2 dalam lomba karya tulis universitas mercabuana tahun 2005)

Tidak ada komentar: